Rabu, 17 September 2008

Membangun ruang perguruan.. (3)

Bisa saja tampak sekedar mengikuti tatacara menegakkan bangunan
tetapi.. tidakkah terlihat pula ada paduan seni,ketekunan, kelenturan, keberanian, ketangkasan, keteguhan
dalam proses membangun ruang ini?
bagaimana bila paduan itu dibawakan sepenuh hati?
dan karenanya kaya makna..?

(Gusti, tambahi kepekaan kami dalam menghayati semua ini...)







Membangun ruang perguruan... (2)

Bukan sekedar sebuah ruang belajar nantinya.
Karena segala penyiapan komponen dan pemasangannya dilakukan dengan gembira
dan hampir 24 jam tiap harinya sambil tetap gembira..
Ada ruh di dalamnya. Gambar-gambar ini merekam (dan membagi) getaran jiwa manusia
yang menjadi fondasi sebuah pembelajaran holistik.









Membangun ruang perguruan..










Bambu-bambu datang dan ditegakkan.

Bahkan sejak berdirinya, perguruan ini sarat pembelajaran..
Kekayaan alam dan manusia Nusantara ditumpah melalui Bapak-bapak dari Subang.

Bambu. Bambu.

Senin, 25 Agustus 2008

Pilar-pilar perguruan...

Ditegakkan - satu demi satu - pilar-pilar yang kelak menumpu sebuah saung bambu berukuran 25 meter persegi. Dimulai pertengahan Agustus yang lalu, diharapkan pada akhir Agustus 2008 saung bambu sudah berdiri...









Senin, 11 Agustus 2008

Perkembangan Pembangunan Perguruan...

Sampai hari Jum'at, 8 Agustus 2008..

Terkumpul dana zakat dan infaq sebesar Rp. 18,8 juta.
Telah dibelanjakan Rp. 10 juta, saat ini sedang dilakukan penyiapan saung bambu untuk ruang pembelajaran.

Bagi rekan-rekan yang membutuhkan panduan tentang zakat, infaq, dan shadaqah, silahkan mengunjungi situs-situs terkait yang cukup banyak jumlah dan ragamnya. Diantaranya situs-situs di bawah ini (KLIK kiri) :


1. Panduan zakat dari Portal Infaq
2. Pengenalan zakat dari Rumah Zakat Indonesia
3. Definisi Infaq, Shadaqah, dan Zakat
4. Kalkulator Zakat Profesi

Pertanyaan tentang rincian penggunaan dana, silahkan menghubungi via email pengelola blogspot ini.

Semoga ALLAH melapangkan jalan kita untuk lebih mengenal dan mendekat kepadaNYA. Aamiin.

Rabu, 30 Juli 2008

Persiapan perguruan pertengahan Juli 2008 ...











Kiat Ki Hadjar Dewantara dalam memecahkan masalah

Meneng-Wening-Hanung-Menang (neng-ning-nung-nang)

Lihat selengkapnya.. DI SINI

Jumat, 27 Juni 2008

Batin yang Belajar

Apakah yang kita maksud dengan belajar? Apakah terdapat belajar jika kita hanya sekadar menumpuk pengetahuan, mengumpulkan informasi? Itu satu jenis belajar, bukan? Sebagai mahasiswa teknologi, Anda belajar matematika, dan sebagainya; Anda belajar, memberikan informasi kepada diri Anda tentang subyek itu. Anda mengumpulkan pengetahuan untuk digunakan secara praktis. Belajar Anda bersifat kumulatif, menambah. Nah, jika batin sekadar mengambil, menambah, memperoleh, apakah itu belajar? Ataukah belajar itu sesuatu yang sama sekali lain? Saya berkata, proses penambahan yang sekarang kita namakan ’belajar’ ini bukan belajar sama sekali. Itu sekadar memupuk ingatan, yang menjadi mekanis; dan suatu batin yang berfungsi secara mekanis, seperti mesin, tidak mampu belajar. Sebuah mesin tidak mampu belajar, kecuali dalam arti menambah. Belajar adalah sesuatu yang lain sekali, seperti akan saya coba tunjukkan kepada Anda.

Sebuah batin yang belajar tidak pernah berkata, ”Saya tahu,” oleh karena pengetahuan selalu bersifat parsial, sedangkan belajar selalu lengkap selamanya. Belajar bukan berarti mulai dengan sejumlah pengetahuan tertentu, lalu menambahkan pengetahuan baru kepadanya. Itu sama sekali bukan belajar; itu proses mekanis murni. Bagi saya, belajar adalah sama sekali lain, saya belajar tentang diri saya dari saat ke saat, dan diri ini luar biasa hidupnya; ia hidup, bergerak; ia tidak punya awal, tidak punya akhir. Ketika saya berkata, ”Saya tahu diri saya,” belajar pun berhenti dalam timbunan pengetahuan. Belajar tidak pernah bersifat kumulatif; ia adalah gerak mengetahui yang tidak punya awal tidak punya akhir.

Pengetahuan Bukan Kearifan

Di dalam mencari pengetahuan, di dalam keinginan menumpuk, kita kehilangan cinta, kita menumpulkan rasa akan keindahan, kepekaan akan kekejaman; makin lama kita makin terspesialisasi, dan makin kurang terintegrasi. Kearifan tidak bisa digantikan oleh pengetahuan; sebanyak apa pun penjelasan diberikan, sebanyak apa pun fakta dikumpulkan, tidak akan membebaskan manusia dari penderitaan. Pengetahuan itu perlu, sains mempunyai tempatnya; tetapi jika batin dan hati tercekik oleh pengetahuan, dan jika sebab-musabab penderitaan dicoba untuk dihilangkan dengan dijelaskan, hidup menjadi sia-sia dan tanpa makna. ...

Informasi, pengetahuan akan fakta-fakta, sekalipun terus bertambah, pada dasarnya selalu terbatas. Kearifan tidak terbatas; ia mencakup pengetahuan, dan tindakan; tetapi kita memegang suatu cabang, dan mengira itu seluruh pohon. Melalui pengetahuan tentang sebagian, kita tidak pernah merealisasikan sukacita dari keseluruhan. Intelek tidak pernah dapat menjangkau keseluruhan, oleh karena ia hanyalah sekadar suatu segmen, bagian.

Kita telah memisahkan intelek dari perasaan, dan mengembangkan intelek sambil mengesampingkan perasaan. Kita seperti kursi berkaki tiga, dengan satu kaki jauh lebih panjang daripada kaki-kaki yang lain, dan kita tidak punya keseimbangan. Kita terdidik untuk menjadi intelektual. Pendidikan kita memupuk intelek agar menjadi tajam, licin, selalu berupaya memiliki, sehingga intelek paling berperan dalam kehidupan kita. Kecerdasan jauh lebih besar daripada intelek, oleh karena kecerdasan adalah paduan antara akal budi dan cinta; tetapi kecerdasan hanya mungkin ada apabila terdapat pengenalan-diri, pemahaman yang mendalam akan keseluruhan proses diri.


[The Book of Life, 17 September]



Rabu, 25 Juni 2008

Lingkungan Perguruan... sumber pembelajaran tak ternilai














Kebanyakan dari kita tidak peduli dengan alam semesta luar biasa yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak pernah melihat lambaian daun tertiup angin. Kita tidak pernah memandang sehelai rumput, menyentuhnya dengan tangan kita, dan mengetahui kualitas keberadaannya. Ini bukan sekadar puitis; jadi, jangan menyimpang ke dalam suatu keadaan spekulatif atau emosional.

... adalah penting untuk memiliki perasaan yang mendalam tentang kehidupan, dan bukan terperangkap dalam liku-liku intelektual, diskusi, upaya untuk lulus ujian, mengutip seseorang, atau mengesampingkan sesuatu yang baru dengan mengatakan bahwa itu pernah dikatakan orang sebelumnya. Intelek bukanlah jalan. Intelek tidak akan memecahkan masalah-masalah kita. Intelek tidak akan memberi kita gizi yang tak mungkin musnah. Intelek dapat berpikir, berdiskusi, menganalisis, sampai kepada kesimpulan berdasarkan inferensi dan sebagainya; tetapi intelek terbatas, oleh karena intelek itu hasil dari keterkondisian kita. Tetapi kepekaan lain. Kepekaan tidak memiliki pengkondisian; ia langsung membawa Anda keluar dari lingkup rasa takut dan kecemasan.

... Kita menghabiskan hari-hari dan tahun-tahun kita dalam mengembangkan intelek, dengan berdebat, berdiskusi, berkelahi, bergulat untuk menjadi sesuatu, dan sebagainya. Namun, dunia yang luar biasa menakjubkan ini, bumi ini begitu kaya—bukan bumi Bombay, bukan bumi Punjab, bumi Rusia atau bumi Amerika—bumi ini milik kita, milik Anda dan milik saya; dan itu bukan omong kosong sentimental, itu fakta. Tetapi sayang sekali, kita telah membagi-baginya dengan keremehan kita, dengan sikap kedaerahan kita. Dan kita tahu mengapa kita melakukannya—demi rasa aman kita, demi lapangan pekerjaan yang lebih baik dan lebih banyak(lagi). Itulah permainan politik yang dimainkan orang di seluruh dunia; sehingga kita lupa untuk menjadi manusia, untuk hidup berbahagia di muka bumi yang kita miliki, dan memanfaatkannya.

[The Book of Life, renungan 5 September, Intelek Tidak Akan Memecahkan Masalah Kita]

Senin, 23 Juni 2008

Persiapan Perguruan...





Tiga foto di atas adalah proses yang sedang kami lakukan yakni, persiapan lahan untuk ruang belajar, kebun untuk eksplorasi bercocok tanam, workshop kecil untuk berkarya, dan 'balong' atau kolam ikan untuk budidaya ikan yang dilakukan oleh anak-anak.
Proses persiapan ini dilakukan oleh penduduk setempat yakni, Pak Sani (berkaos merah), yang profesi kesehariannya adalah ustadz; dan Pak Rochman yang berprofesi sebagai tukang batu. Ketika perguruan ini sudah operasional, keduanya tetap akan kami jadikan nara sumber pembelajaran pada keahlian masing-masing.

Jumat, 20 Juni 2008

Mobilisasi intellektuil nasional untuk mengadakan wajib belajar

PENGAJARAN MEMBATJA DAN MENULIS PERMULAAN

Sembojan: tiap-tiap Orang djadi Guru;
tiap-tiap Rumah djadi Perguruan!

I. PENDAHULUAN

Saja pernah mengandjurkan akan adanja "mobilisasi intellektuil nasional", dengan mengundang segenap kaum terpeladjar, untuk memberi tenaganja guna mengadakan "wadjib beladjar" sendiri. Maksudnja jaitu: djangan sampai kita melihat saudara kita sebangsa disekeliling kita masih buta huruf. Barang siapa tjakap membatja dan menulis, wadjib mengadjarkan membatja dan menulis pada siapapun djuga, baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki maupun perempuan. Tiap-tiap rumah harus mendjadi perguruan; demikianlah sembojan kita.

Tulisan di atas dikutip dari tulisan Ki Hadjar Dewantara di dalam bukunya "Karja Ki Hadjar Dewantara. Bagian pertama: PENDIDIKAN", terbitan tahun 1962, yang dikutip dari Majalah Keluarga, terbitan Desember 1936 - Th. I No. 2, yang merupakan tanggapan beliau terhadap susahnya masyarakat untuk bisa bersekolah versi penjajah (Belanda) sehingga mereka menjadi masyarakat yang tidak terdidik, tidak bisa membaca dan menulis. Beliau sangat prihatin dengan keadaan itu dan mendorong munculnya sebuah "perlawanan" dengan anjuran "mobilisasi intellektuil nasional".
Saat ini, setelah 72 tahun tulisan di atas dimuat, kondisinya tidak terlalu berbeda. Masih begitu banyak masyarakat kita yang tidak terdidik karena sistem yang ada membuat mereka tidak mampu atau tidak dimampukan untuk terdidik. Begitu banyak masyarakat "buta" dan atau "dibutakan" terhadap potensi dirinya, masyarakatnya, bangsanya, budayanya, kearifan lokalnya, dan lingkungan alamnya.
Lalu, akankah kita diam? Akankah kita tidak terpanggil untuk memobilisasi diri "mencelikkan kebutaan" masyarakat?
Bukan sesuatu yang berat jika kita mau bersama-sama memobilisasi diri menjadi "pelenyap kegelapan".

Terima kasih,
Salam Perguruan

Rabu, 18 Juni 2008

Salam Perguruan!

EDUCATION AND THE SIGNIFICANCE OF LIFE, Chapter 1
'Education and the Significance of Life ', by Jiddu Krishnamurti

When one travels around the world, one notices to what an extraordinary degree human nature is the same, whether in India or America, in Europe or Australia. This is especially true in colleges and universities. We are turning out, as if through a mould, a type of human being whose chief interest is to find security, to become somebody important, or to have a good time with as little thought as possible.
Conventional education makes independent thinking extremely difficult. Conformity leads to mediocrity. To be different from the group or to resist environment is not easy and is often risky as long as we worship success. The urge to be successful, which is the pursuit of reward whether in the material or in the so-called spiritual sphere, the search for inward or outward security, the desire for comfort - this whole process smothers discontent, puts an end to spontaneity and breeds fear; and fear blocks the intelligent understanding of life. With increasing age, dullness of mind and heart sets in.

Kita sebaiknya menyimak kalimat-kalimat di atas, dan mulai merintis adanya sekolah-sekolah yang bisa keluar dari sistem pendidikan yang konvensional.
Blog ini dibangun dengan semangat itu. Silakan menyimak, dan silakan terlibat.